This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Polisi Syariah: Keamanan untuk Siapa?

oleh Haryanto* ABSTRAK
Tulisan ini tentang community policing di bawah Syariat Islam dan posisinya dalam human security. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan karekteristik dan paradigma keamanan dalam kasus Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) di Provinsi Aceh. Untuk itu tulisan ini menghubungkan hadirnya Polisi Syariah dengan human security, serta bagaimana karekteristik dari aktor keamanan tersebut terkait dengan menjaga ketertiban dalam masyarakat Aceh (community policing). Hasilnya, paradigma keamanan di Provinsi Aceh dimaknai sebagai nilai lokalitas, kontradiktif dengan yang ditawarkan dalam human security – untuk diadopsi dalam rezim transisi demokrasi seperti di Indonesia.
Kata kunci: syariah; keamanan manusia; polisi masyarakat.

* Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM Yogyakarta

Download Artikel

“Pilkada Damai”, Wacana atau…

Oleh : Abdullah

Sebagaimana diketahui, Aceh memiliki keunggulan kebudayaan yang diikuti dengan nilai-nilai Islam, karena itulah Aceh di sebut dengan Serambi Mekkah. Aceh tidak hanya telah melahirkan kultur dan peradaban Islam, tetapi juga para pemuka agama Islam. Di samping itu, Aceh juga melahirkan para pejuang lokal yang memiliki militansi nasionalisme dan semangat bela-negara yang tinggi.
Semangat yang diperlihatkan oleh para pejuang Aceh dulunya tentu dalam rangka untuk menciptakan situasi damai, kehidupan harmonis serta persatuan dan kesatuan di wilayah Aceh. Disadari atau tidak pada satu sisi pilkada merupakan moment strategis untuk pendidikan politik yang meningkatkan taraf hidup masyarakat dan juga pembangunan daerah. Namun pada sisi yang lain, pilkada juga dapat merusak suasana aman, damai, tenang, nyaman dan harmonis termasuk juga di Aceh. Karena lewat pilkada, bisa jadi satu dengan yang lainnya bisa saling hasut-menghasut, fitnah-memfitnah, hina-menghina, dan jatuh-menjatuhkan yang pada akhirnya berujung pada konflik.
Mungkin ada beberapa bentuk pelanggaran yang mungkin sering kali terjadi pada saat penyelenggaraan pilkada, di antaranya adalah: Pertama, money politics (politik uang). Sepertinya money politics ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masyarakat yang pendapatannya cenderung menengah ke bawah, maka dengan mudahnya pasangan calon beserta tim suksesnya untuk membeli suara pemilih. Kedua, intimidasi.
Ini merupakan kegiatan politik yang sangat berbahaya, dimana seseorang/ sekelompok pemilih bisa saja diintimidasi untuk menentukan pilihannya pada calon tertentu karena beberapa faktor, seperti kekuasaan, kekuatan dan kekayaan. Ketiga, kampanye negatif. Ini biasanya terjadi karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat dan juga sebagian masyarakat masih sangat kurang informasinya terhadap pasangan calon. Jadi mereka hanya percaya dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya.
Disadari bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik di berbagai daerah akhir-akhir ini adalah penyelenggaraan pilkada. Pesta demokrasi yang diselenggarakan di Aceh, diakui memiliki beberapa potensi kerawanan. Termasuk di dalamnya juga kegiatan pemilihan gubernur Aceh. Di samping pemilihan gubernur, 20 kepala daerah kabupaten/kota yang saat sekarang sedang diperebutkan oleh beberapa pasangan calon bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota disadari atau tidak, di sana sini akan menimbulkan berbagai macam gesekan kepentingan yang tidak hanya melibatkan para tim sukses, melainkan juga para simpatisan masing-masing pasangan.
Beragamnya perbedaan dan kepentingan yang dimiliki masing-masing pasangan beserta tim sukses dan simpatisannya, manakala disikapi dengan itikad untuk menjaga perdamaian,  kita yakin dan percaya kegiatan pesta demokrasi lokal ini akan berjalan dengan aman, sukses dan damai. Satu saja di antara kandidat, tim sukses dan simpatisan yang melakukan pelanggaran, maka dalam waktu relatif singkat akan berbias tidak baik pada kehidupan masyarakat.
Semua elemen masyarakat yang ada di Aceh berkepentingan mempunyai peran untuk menjaga perdamaian, kapanpun dan di manapun berada. Diakui bahwa suasana damai jauh lebih baik ketimbang suasana konflik. Dengan damai, rezeki akan kian membaik, sahabat kian bertambah, ibadah semakin khusyuk, pembangunan kian lancar dan masing-masing keluarga kian sejahtera.
Saya sangat menyayangkan apa yang terjadi beberapa bulan belakang, dimana terjadi kesalahpahaman antar pendukung calon gubernur yang berakibat pada pembakaran atribut pilkada dari salah satu partai lokal di Aceh. Pada akhirnya kesalahpahaman tersebut berakhir damai dengan cara mediasi yang dihadiri oleh masing-masing wakil dari kedua belah pihak. Tidak lama berselang dari kesalahpahaman antar pendukung yang berujung pada pengrusakan atribut pilkada, dan kini pengrusakan atribut pilkada kembali terjadi di daerah Aceh Jaya yang diduga dilakukan oleh salah satu tim pendukung calon bupati. Padahal sebelumnya kita baru saja mengikuti Deklarasi Pilkada Berintegritas dan Damai yang diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) di masing-masing daerah.
Untuk itu, kita semua yang ada di wilayah Aceh ini harus senantiasa bersama, bersatu, dan seiring dalam menjaga perdamaian ini. Perlu kita pahami bersama di kala kita menyatakan diri untuk mencalonkan diri dalam mengikuti pilkada, maka pada saat itu kita harus siap menerima apapun hasil akhirnya pesta demokrasi lokal ini.
Jika sejak dari awal agenda kegiatan pilkada ini sudah kita pastikan kemenangan menjadi Bupati/Walikota, maka di kala hasil akhirnya kalah kita tidak siap mental untuk menerima kekalahan tersebut. Kesiapan mental untuk menerima kekalahan ini tidak hanya dibangun untuk pasangan calon, melainkan juga untuk tim sukses dan juga simpatisan dari masing-masing pasangan calon.


Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.