This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Aceh Paska MoU Helsinki [Negara Belum Menjalankan Fungsinya Dengan Baik]

ABSTRAK

Negara Indonesia dikategorikan sebagai negara lemah. Pengambilan kesimpulan Negara lemah berdasarkan pada teori yang dinyatakan Robert I. Rotberg. Dalam teorinya dia menyatakan fungsi utama suatu Negara dan juga karakter suatu Negara dikatakan lemah.


Tulisan ini menampilkan suatu kasus untuk menganalisis performa pemerintah Indonesia dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Kasus yang diambil adalah kasus paska penandatanganan konflik Aceh dengan Pemerintah Indonesia. Penandatanganan MoU dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2005. Analisis kasus akan dibatasi pada akhir tahun 2008. Fakta-fakta kasus yang akan ditampilkan di sini adalah erat kaitannya dengan tindakan yang telah diambil Negara Indonesia dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Kemudian hal itu akan kami gunakan untuk melakukan analisis dalam menentukan kategorisasi pemerintah Indonesia.


Key Word: Negara, Weak State, Konflik

Asas Pemimpin Dalam Tajus Salatin

Oleh : Herman Syah

ENTAH sejauh mana kita mengenal naskah Taj al-Salatin (Tajus Salatin). Manuskrip yang pernah mengharumkan negeri ini di seluruh penjuru dunia, menjadi bacaan wajib para sultan dalam memimpin negerinya, seakan ia menjadi persyaratan awal dalam memimpin dan menyejahterakan rakyatnya. Sebagai karya sastra, kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, sosial-politik dan pemerintahan, baik bersifat teoritis dan praktis. Oleh karena itu, ia dikenal Mahkota Raja-raja.
Bukhari al-Jauhari nama pengarangnya, yang bisa diartikan “Bukhari si pandai emas”  atau “Bukhari dari Johor” dinisbat kepada salah satu daerah. Walau tidak dicantum tahun dan tempat penulisan, Roorda van Eijisinga, peneliti Belanda pada tahun 1827, berhasil merumuskan kode “rahasia’ yang digunakan oleh si pengarang.  Disimpulkan,
kitab ini selesai ditulis tahun 1012 H (1603 M) di Aceh sebagai hadiah kepada Sultan Alauddin Ri`ayat Syah bergelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).
Pengaruh gemilang Tajus Salatin bertahan berabad-abad. Raffles misalnya, menyatakan dengan tegas bahwa pada pemerintahan zaman sultan, Singapura mengacu kepada asas-asas di dalam Tajus Salatin, sementara Abdullah Munsyi berusaha mengetahui watak Gubernur Inggris itu berdasarkan asas-asas ilmu firasat yang ditemukan dalam kitab ini. Pada abad ke-19, adaptasi-adaptasi masih dibaca di kraton Yogyakarta dan Surakarta dalam versi Jawa yang disebut Serat Tajus Salatin. Dua abad sebelumnya, usaha penerjemahan sudah dilakukan ke bahasa Belanda (Roorda van Eijisinga, 1827), bahasa Prancis (A. Marre, 1878), dikaji dan diterjemah dalam bahasa Inggris (E Winstedt, 1920).
Namun di negerinya sendiri, Aceh, kitab ini belum terjamah pada saat naskahnya sendiri semakin langka. Kitab ini merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Sejauh ini belum diperoleh  biografinya yang lengkap, hingga naskah sejarah spektakuler, Bustan al-Salatin, ini pun tidak mengukir namanya. Braginsky menegaskan bahwa Tajus Salatin merupakan karangan asli dari seorang cendekiawan Aceh yang berasal dari Bukhara dan tinggal lama di Aceh. Uraian tentang masalah-masalah yang terkandung di dalamnya dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber kitab dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya dalam konteks pada masa itu.
Persoalan yang dikemukakan adalah persoalan-persoalan yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah-masalah politik dan pemerintahan. Walaupun kesultanan Aceh sedang mengalami krisis internal, yang menyebabkan Sultan Sayyid al-Mukammil dipaksa turun tahta oleh dua orang anaknya. Pada sisi lain, di era tersebut Aceh sedang giat meluaskan wilayah kekuasaannya bersama proses islamisasi. Beberapa negeri yang penduduknya belum beragama Islam, seperti Tanah Batak dan Karo, juga ditaklukkan.
Dalam kitabnya, Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memimpin sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal, dan peranan seorang pemimpin (sultan, gubernur, bupati/walikota, camat dan kepala desa) yang adil dan benar. Sedikitnya ada 5 asas landasan seorang pimpinan atau syarat memilih pemimpin negeri dan daerahnya.
Pertama, Hifz; secara harfiah artinya memelihara, menjaga dan amanah. Negara makmur jika dipimpin oleh orang yang menjaga amanah, memelihara kepercayaan rakyat, menunaikan kewajiban janjinya. Hifz; juga diartikan orang memiliki ingatan yang baik, yaitu cerdas dan pandai. Itu menjadi modal dasar membangun negeri ini.
Kedua, Fahm, artinya mengerti dan tanggap, yaitu tanggap dan mengerti kebutuhan rakyat. Pemimpin memiliki pemahaman dan konsep yang benar terhadap berbagai kebutuhan rakyatnya, bukan mendahulukan keinginan pribadi dan kelompoknya. Ia mengerti kebutuhan yang berbeda di setiap daerah dan wilayah, dan mampu mengakomodasinya.
Ketiga, Fikr; yaitu idealis, tajam pikiran dan luas wawasannya. Seorang pemimpin tidak terbuai dengan kekayaan dan fasilitas negara, namun ia mencurahkan segala upaya dan usaha memikirkan rakyatnya. Saydina Umar r.a menjadi contoh baik seorang pemimpin yang melayani rakyatnya tanpa dibatasi jam kerja. Ide-ide brilian menjadi pendukung utama dalam membangun negeri, termasuk anggota legislatif dan para pimpinan SKPA di seluruh lini.
Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target. Visi dan misi pemimpin lebih mengutamakan rakyat daripada pribadi dan kelompoknya, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat, kemampuannya menuntaskan kemiskinan. Visi-misi yang dimiliki bukan hanya membangun infrakstruktur, namun mempersiapkan generasi mendatang dengan mencerdaskan bangsa dan membangun intelektual yang berbasis agama, sehingga tidak terkikis keimanannya oleh pengaruh luar, baik agama maupun adat budaya.
Dan kelima, Nur; cahaya atau penerang, yaitu sikap pemimpin yang bersih, jujur, dan tidak korupsi. Cahaya (nur) sebagai simbol kegemilangan, kejayaan dan kesejahteraan yang mampu menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang, bukan dengan otoriter, apalagi radikalisme dan militerisme. Pemimpin tegas dan lugas, tapi tetap rasional dan tidak dipengaruhi hawa nafsu dan penyakit korupsi.
Konsep membangun karakter ini harus dimulai sejak dini, tidak akan berdiri kokoh satu negeri tanpa pondasi yang kuat. Kecerdasan, keimanan yang kuat, berakhlak mulia dan kejujuran tidak dapat dicetak dengan instan. Saat sifat dan syarat tersebut mampu dipenuhi oleh seorang pemimpin, tak diragukan kemakmuran akan dicapai. Maka lazim sudah pada abad ke-19, Singapura, Malaysia, Inggris, dan Yogyakarta meneladani prinsip-prinsip di dalam naskah Tajus Salatin. Di Aceh, tak berlebihan jika disebut Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17, layaklah ia menjadi pemimpin yang diagungkan di Asia, bahkan dunia.
Saat usia muda, kecerdasan sultan telah tumbuh menjadi pemimpin, dipercayakan memimpin sendiri kerajaan Pedir (Pidie), sebagai pintu gerbang kesultanan Aceh dari arah Timur perairan laut Selat Malaka, seorang pemimpin muda dalam lintasan jalur perang dan pemerintahan (hifz). Saat memimpin kesultanan Aceh, ia mengerti kebutuhan kaum tuha, dengan spirit (semangat) jiwa anak muda dalam aspek duniawi, yaitu memadukan spiritual yang seimbang dengan kemajuan, perekonomian dan stabilitas politik (fahm). Kemudian, ia mampu membuka jalur bisnis dengan pihak-pihak asing, investasi besar-besaran atas kerja sama dengan negara Eropa. Ide dan perhatiannya ia curahkan mengelola SDM dan SDA untuk menyejahterakan rakyat (fikr). Selain membangun infrastruktur, Masjid Baiturrahman salah satunya. Keberhasilannya membangun jaringan intelektual dengan dunia Jazirah Arab, dan menjadi pusat intelektual keislaman (Islamic Center) di Asia (iradah). Dan, kejujurannya tak perlu diragukan lagi. Ia begitu bijaksana menempatkan delegasinya di wilayah kerajaannya, termasuk menegakkan hukum yang sama antara rakyat, pejabat dan sahabat keluarganya, karena ia memandang semua sama di depan hukum (nur).
Kitab ini terdiri atas  24 bab. Keterkaitan sufistik dan kepemimpinan terlihat jelas menjadi satu kesatuan di antara bab. Empat bab pertama, mendidik manusia mengenal Tuhannya. Bab V sampai IX tamsil pemimpin yang adil dan yang zalim. Bab X-XIII membicarakan para menteri dan perwakilan rakyat (DPRA, DPRK, SKPA, dll). Bab XIV pendidikan anak. Bab XV-XVI sifat dan karakter leadership. Bab XVII tentang Ten Commandments (10 janji pokok) pemimpin, mengingatkan kita kepada peraturan naskah Adat Aceh. Bab XVIII-XIX memuat ilmu kiyafa, hikmah dan ilmu firasat, yang kini total ditinggalkan di Aceh, setidaknya dalam dunia pendidikan. Bab XXI berisi 20 syarat non-muslin di negeri syariat Islam, konteks yang hangat dibicarakan di Aceh saat ini, dan negara-negara Islam. Bab terakhir, wasiat pengarang kitab kepada 4 sektor penting (main sector) pemerintahan, yaitu sultan, perwakilan rakyat (DPRA, DPRK dan SKPA), rakyat yang berakal dan beriman, dan kepada media yang netral.
Melihat kualitas karya Tajus Salatin, seharusnya kitab ini menjadi bacaan wajib di pendidikan formal atau non-formal, juga untuk membangun karakter pemimpin yang jujur, idealis, cerdas, dan berakhlak mulia. Paling tidak, bacaan ini lebih baik daripada  cerita fiksi Hindu-Budha yang selama ini disuguhkan kepada anak-anak kita. (dipublish July 17, 2011)
Hermansyah  peraih magister dari Aligarh Muslim University, India, dan mahasiswa Magister Filologi (kajian naskah/manuskrip) pada UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Polisi Syariah: Keamanan untuk Siapa?

oleh Haryanto* ABSTRAK
Tulisan ini tentang community policing di bawah Syariat Islam dan posisinya dalam human security. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan karekteristik dan paradigma keamanan dalam kasus Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) di Provinsi Aceh. Untuk itu tulisan ini menghubungkan hadirnya Polisi Syariah dengan human security, serta bagaimana karekteristik dari aktor keamanan tersebut terkait dengan menjaga ketertiban dalam masyarakat Aceh (community policing). Hasilnya, paradigma keamanan di Provinsi Aceh dimaknai sebagai nilai lokalitas, kontradiktif dengan yang ditawarkan dalam human security – untuk diadopsi dalam rezim transisi demokrasi seperti di Indonesia.
Kata kunci: syariah; keamanan manusia; polisi masyarakat.

* Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM Yogyakarta

Download Artikel

“Pilkada Damai”, Wacana atau…

Oleh : Abdullah

Sebagaimana diketahui, Aceh memiliki keunggulan kebudayaan yang diikuti dengan nilai-nilai Islam, karena itulah Aceh di sebut dengan Serambi Mekkah. Aceh tidak hanya telah melahirkan kultur dan peradaban Islam, tetapi juga para pemuka agama Islam. Di samping itu, Aceh juga melahirkan para pejuang lokal yang memiliki militansi nasionalisme dan semangat bela-negara yang tinggi.
Semangat yang diperlihatkan oleh para pejuang Aceh dulunya tentu dalam rangka untuk menciptakan situasi damai, kehidupan harmonis serta persatuan dan kesatuan di wilayah Aceh. Disadari atau tidak pada satu sisi pilkada merupakan moment strategis untuk pendidikan politik yang meningkatkan taraf hidup masyarakat dan juga pembangunan daerah. Namun pada sisi yang lain, pilkada juga dapat merusak suasana aman, damai, tenang, nyaman dan harmonis termasuk juga di Aceh. Karena lewat pilkada, bisa jadi satu dengan yang lainnya bisa saling hasut-menghasut, fitnah-memfitnah, hina-menghina, dan jatuh-menjatuhkan yang pada akhirnya berujung pada konflik.
Mungkin ada beberapa bentuk pelanggaran yang mungkin sering kali terjadi pada saat penyelenggaraan pilkada, di antaranya adalah: Pertama, money politics (politik uang). Sepertinya money politics ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masyarakat yang pendapatannya cenderung menengah ke bawah, maka dengan mudahnya pasangan calon beserta tim suksesnya untuk membeli suara pemilih. Kedua, intimidasi.
Ini merupakan kegiatan politik yang sangat berbahaya, dimana seseorang/ sekelompok pemilih bisa saja diintimidasi untuk menentukan pilihannya pada calon tertentu karena beberapa faktor, seperti kekuasaan, kekuatan dan kekayaan. Ketiga, kampanye negatif. Ini biasanya terjadi karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat dan juga sebagian masyarakat masih sangat kurang informasinya terhadap pasangan calon. Jadi mereka hanya percaya dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya.
Disadari bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik di berbagai daerah akhir-akhir ini adalah penyelenggaraan pilkada. Pesta demokrasi yang diselenggarakan di Aceh, diakui memiliki beberapa potensi kerawanan. Termasuk di dalamnya juga kegiatan pemilihan gubernur Aceh. Di samping pemilihan gubernur, 20 kepala daerah kabupaten/kota yang saat sekarang sedang diperebutkan oleh beberapa pasangan calon bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota disadari atau tidak, di sana sini akan menimbulkan berbagai macam gesekan kepentingan yang tidak hanya melibatkan para tim sukses, melainkan juga para simpatisan masing-masing pasangan.
Beragamnya perbedaan dan kepentingan yang dimiliki masing-masing pasangan beserta tim sukses dan simpatisannya, manakala disikapi dengan itikad untuk menjaga perdamaian,  kita yakin dan percaya kegiatan pesta demokrasi lokal ini akan berjalan dengan aman, sukses dan damai. Satu saja di antara kandidat, tim sukses dan simpatisan yang melakukan pelanggaran, maka dalam waktu relatif singkat akan berbias tidak baik pada kehidupan masyarakat.
Semua elemen masyarakat yang ada di Aceh berkepentingan mempunyai peran untuk menjaga perdamaian, kapanpun dan di manapun berada. Diakui bahwa suasana damai jauh lebih baik ketimbang suasana konflik. Dengan damai, rezeki akan kian membaik, sahabat kian bertambah, ibadah semakin khusyuk, pembangunan kian lancar dan masing-masing keluarga kian sejahtera.
Saya sangat menyayangkan apa yang terjadi beberapa bulan belakang, dimana terjadi kesalahpahaman antar pendukung calon gubernur yang berakibat pada pembakaran atribut pilkada dari salah satu partai lokal di Aceh. Pada akhirnya kesalahpahaman tersebut berakhir damai dengan cara mediasi yang dihadiri oleh masing-masing wakil dari kedua belah pihak. Tidak lama berselang dari kesalahpahaman antar pendukung yang berujung pada pengrusakan atribut pilkada, dan kini pengrusakan atribut pilkada kembali terjadi di daerah Aceh Jaya yang diduga dilakukan oleh salah satu tim pendukung calon bupati. Padahal sebelumnya kita baru saja mengikuti Deklarasi Pilkada Berintegritas dan Damai yang diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) di masing-masing daerah.
Untuk itu, kita semua yang ada di wilayah Aceh ini harus senantiasa bersama, bersatu, dan seiring dalam menjaga perdamaian ini. Perlu kita pahami bersama di kala kita menyatakan diri untuk mencalonkan diri dalam mengikuti pilkada, maka pada saat itu kita harus siap menerima apapun hasil akhirnya pesta demokrasi lokal ini.
Jika sejak dari awal agenda kegiatan pilkada ini sudah kita pastikan kemenangan menjadi Bupati/Walikota, maka di kala hasil akhirnya kalah kita tidak siap mental untuk menerima kekalahan tersebut. Kesiapan mental untuk menerima kekalahan ini tidak hanya dibangun untuk pasangan calon, melainkan juga untuk tim sukses dan juga simpatisan dari masing-masing pasangan calon.


Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.